Teruslah Tumbuh, Harapan

Harapan, Aristoteles menyebutnya dengan, mimpi dari seseorang yang terjaga. Giat atas harapan barangkali memang hanya bisa diwujudkan melalui serangkaian kerja, keterlibatan, sesekali jatuh, bangkit, dan mengerjakannya lagi. Terus begitu. Sampai harapan dimaknai dalam definisi paling final, menurut versinya masing-masing.

Bulan-bulan belakangan ini, di masa pandemi, harapan seperti jamur di musim penghujan. Bertumbuh dan berbiak di mana-mana. Beberapa diantaranya bernasib rawan. Sementara yang lainnya masih terlihat nyala apinya yang senantiasa berkobar.

Harapan itu, beberapa yang kami tahu bermunculan dalam kerja-kerja kecil yang mewujud penyikapan respon atas pangan. Cukup ganjil memang. Negeri agraris yang tanahnya mampu menumbuhkan hasil pertanian dan perkebunan yang unggul, tidak begitu sebanding dengan ketrampilan kerja negara untuk memenuhi kenyataan tersebut. Tak ayal beberapa orang kemudian melatih tangannya untuk mengenal tanah lagi. Menebar benih dan merawatnya. Merasai kerja keras petani dalam setiap tahapan prosesnya. Di masa pandemi, orang-orang diberi banyak sekali kesempatan untuk mengenali dirinya. Mengenali apa yang selama ini negara telah lakukan kepada rakyatnya.

Salah satu tanaman kawan di Kalasan (Foto: Hepi)

Harapan berkebun sederhana, singkatnya, telah menabalkan sikap orang-orang yang terjaga ini. Kenyataan tersebut semakin dikuatkan dengan pemandangan para petani yang menyisihkan hasil pertaniannya untuk solidaritas sosial, padahal harga pertaniannya, seperti yang kita tahu, telah dihajar bertubi-tubi oleh monopoli perdagangan. Beberapa orang tadi itu, begitu terkesiap hatinya atas situasi ini. Perjuangan memang tidak mudah, selain tidak ditayangkan, kemenangannya tidak serta merta terjadi esok hari.

Beberapa teman dengan harapannya ini membuat kebiasaan baru. Dengan atau tanpa bumbu romantisme, mereka menyirami tanaman ketika pagi dan sore hari, kemudian memindah sayur yang terlalu bergerombol, memberi makan ikan, dan melanggengkan mimpi-mimpinya sebelum petang datang. Namun ada juga yang menyerahkannya pada nasib, setelah benih ia sebar, ia menitipkan doa untuk Tuhan yang akan merawatnya. Sebab ia terlalu sibuk untuk merawat tanaman dikarenakan desakan lain dari pekerjaannya.

Harapan, sekali lagi, menjadi pemimpin di masa pandemi ini. Perbedaannya hanya pada kadar keterlibatan masing-masing dalam menyikapinya. Seperti giat berkebun atau menanam tadi. Beberapa yang lebih dulu memulai, lebih dulu menuai hasilnya. Kebahagiaan, rencana tindak lanjut, dan sikap kritis pada negara lalu menjadi manunggalnya kerangka berpikir yang semakin menguat. Pernyataan itu mempertegas diri, “kenyataan memang punya cara kerjanya sendiri yang tidak terbantahkan untuk mencipta kesadaran.”

Tanaman kawan lainnya di Jombang (Foto: Gopek)

Harapan, pada akhirnya, telah usai dan terus ditanam orang-orang dengan berbagai bentuknya di masa pandemi ini. Tentu saja sembari dirapalkan citanya untuk menjadi nyata. Namun tetep saja ada beberapa orang yang melakukannya dengan abai. Sementara yang lainnya, begitu serius. Orang-orang yang serius itu menghitung keadaan yang terjadi di sekitarnya secara nyata, memilah kabar yang menyebar, melakukan kerja-kerja yang tepat guna, mengajak yang lain untuk hadir, dan tentu menyiapkan rencana-rencana terbaik untuk hari depan.

Harapan, lalu, mungkin saja bertambah subur, dalam pertumbuhannya. Sebab ada kerja di sana. Ada pengenalan mendalam. Ada permenungan. Terus bertumbuh ia dalam lingkungan yang baik dan tepat. Hal itu membuat orang-orang yang menjalaninya, mengutkan tekad dan melanjutkan pekerjaan. Dari hatinya seperti terdengar prinsip yang menggetarkan, “Harapan yang tidak diperjuangkan adalah harapan yang tak layak dimenangkan.”

Sehat selalu, Harapan!

Yogyakarta, Juni, 2020.


Mh Maulana

Kanal Muda. Mengalirkan Kehidupan.

Pos Berikutnya Pos Sebelumnya
Tidak Ada Komentar
Tambahkan Komentar
comment url