Mengetuk Rumah Petani, Membuka Hati dan Pikiran

Ilustrasi petani (Sumber: Freepik)

Oleh: Taufik Kharisma 

Ini bukan lagi berita baru: bahwa di negeri agraris, nasib petani terkikis. 

Sore itu (27/2/22), cahaya matahari menyusup lewat celah-celah dedaunan. Saya masih ingat saat itu, saya bersama teman saya sedang melakukan penelitian kecil-kecilan. Sampelnya adalah beberapa petani yang ada di Kulon Progo dengan teknik non-direct question sembari bersilaturahmi dari rumah ke rumah. 

Saat itu, kurang lebih pukul 3 sore kami berboncengan mengendarai sepeda motor menuju sebuah rumah yang lokasinya berada di sebuah dusun yang jauh dari perkotaan. Perjalanan berlangsung cukup lama hingga tibalah kami di rumah kecil dan sederhana yang segera disambut oleh sepasang suami istri petani yang keduanya berusia kurang lebih lima puluh tahunan. Sekilas melihat mereka, ada semacam kesan kuat bahwa kedua orang ini memang telah banyak merasai asam-garam kehidupan dan memiliki daya hidup yang besar. 

Mereka tersenyum kepada kami, mempersilahkan kami masuk dan mudah bercerita dengan akrab. Dari percakapan awal, mereka bercerita pada kami bahwa mereka mempunyai dua orang anak. Anak pertamanya sudah menikah dan tinggal mengikuti pasanganya, sedangkan anak keduanya sudah bekerja menjadi guru honorer di Sekolah Dasar. 

Beberapa camilan dan teh disuguhkan kepada kami. Sembari bercengkrama kami pun silih berganti melontarkan pertanyaan terkait kondisi pertanian yang mereka jalankan. Kalau dibuat detail pertanyaannya kurang lebih meliputi, luas lahan yang dimiliki, siapa yang mengolah lahan tersebut, selain bertani apakah ada pekerjaan lain, apa saja kebutuhan saat mengolah lahan dan biayanya apa yang ditanam di lahan itu, berapa hasil sekali panen, berapa pengeluaran untuk kebutuhan keluarga, biaya lain yang dikeluarkan, dan apakah sedang meminjam uang atau tidak untuk melengkapi kebutuhan pertanian yang dijalankan. Tentu saja pertanyaan-pertanyaan ini tidak secara kaku ketika kami tanyakan.

Berdasarkan pertanyaan yang kami sampaikan, kami kemudian mendapat jawaban bahwa pasangan petani ini mengolah lahan persawahan seluas satu galengan, atau kalau dikalkulasi luasnya kurang lebih 500 meter kali 500 meter, kemudian mengolah lahan perkebunan yang tidak disebutkan secara persis luasnya tetapi kurang lebih sedikit lebih luas dari sawah. Mereka menanam kencur dan kacang serta mengolah lahan tersebut secara mandiri. Selain itu, terkadang mereka bekerja sebagai buruh harian lepas saat ada proyek, di samping itu, pasangan ini juga memelihara dua ekor kambing yang akan mereka jual apabila beranak.

Kami saling meminum teh dan terlibat percakapan yang antusias. Mereka melanjutkan ceritanya bahwa biaya pengolahan lahan yang dikeluarkan adalah sebesar Rp 130.000 untuk biaya sewa Tracktor, biaya Pupuk sebesar Rp 150.000, dan semua itu menjadi pengeluaran setiap masa tanam. Dengan luasan lahan persawahan tersebut pasangan ini dapat memanen sebanyak 10 karung padi, untuk lahan perkebunan rata-rata 2 Karung kencur dan 3 Karung kacang. Hasil panen tersebut untuk padi masih dibagikan kepada orang yang membantu panen dan jumlahnya menyesuaikan. Kalau diakumulasikan, biasanya mereka dapat menyimpan 7-8 Karung dan untuk kencur dan kacang dijual ke pasar dengan kisaran harga 9.000/Kg untuk kacang dan 13.000/Kg untuk kencur. 

Lagi-lagi suara petani hanya dimanfaatkan untuk kontestasi lima tahun sekali

Meskipun hari semakin sore, keakraban masih terus berlanjut. Untuk pengeluaran kebutuhan keluarga, lanjut mereka, “kami membayar listrik sebesar Rp 35.000 dan gas 2 kali dalam sebulan untuk memasak yang berarti sekitar Rp 40.000.” Selain itu, hal yang cukup mengejutkan kami adalah soal biaya sosial. Pasangan ini bercerita bahwa tiap bulanya mereka mengeluarkan biaya untuk nyumbang di acara hajatan minimal sebanyak 5 kali. Untuk biaya ini, rata-rata mereka mengeluarkan biaya sebesar Rp 50.000 - Rp 100.000. Hal ini masih belum ditambahkan untuk biaya iuran jika menjenguk keluarga atau tetangga yang sakit. Menurut kami, sebenarnya ini bukan hal yang salah, mengingat secara historis di beberapa kultur masyarakat jawa memang memiliki rasa sosial dan gotong royong yang tinggi. Di akhir cerita, mereka juga menyampaikan jika sedang meminjam uang di sebuah kelompok dengan bunga 0,5 %.

Tak terasa kami sudah mengobrol selama kurang lebih dua jam. Langit semakin menggelap menjadi pertanda maghrib akan segera berkumandang. Oleh karenanya, kami pun berpamitan untuk pulang dan tak lupa saling memberi semangat karena kami sadar belum bisa memberi solusi yang konkrit terkait kondisi seperti ini.

Dengan kondisi yang dialami pasangan petani ini, dari temuan tersebut, secara sekilas dapat disimpulkan bahwa menjadi petani hasilnya hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan makan saja, itupun karena beras yang berhasil mereka simpan setelah panen. Mereka harus mempunyai mata pencaharian sekunder untuk memenuhi biaya lainnya dalam menyambung hidup. Kondisi kepemilikan lahan yang sempit, biaya produksi yang tinggi, Hasil panen yang dijual dengan murah menjadi permasalahan serius untuk kesejahteraan petani di negeri ini.

Sembari berboncengan pulang, kami terus saja merenungkan banyak hal. Terutama berkaitan dengan di mana posisi negara hari ini. Sebab, saat kami berada di desa-desa kecil dengan pasangan petani seperti itu di mayoritas banyak wilayah di Indonesia, kami benar-benar tidak melihat ada negara di sana!

Kanal Muda. Mengalirkan Kehidupan.

Pos Berikutnya Pos Sebelumnya
Tidak Ada Komentar
Tambahkan Komentar
comment url