Puasa Sebagai Kritik Sosial

Anak-anak menunggu waktu berbuka puasa

Oleh: Tri Hariyono

Setiap ibadah, baik ibadah shaum (puasa) atau ibadah lain, didalamnya terkandung apa yang kita sebut sebagai pesan moral. Bahkan begitu mulianya pesan moral ini, sampai Rasulullah SAW menilai ‘harga’ suatu ibadah dinilai dari sejauh mana kita menjalankan pesan moralnya. Apabila ibadah itu tidak meningkatkan Akhlak kita, Rasulullah menganggap bahwa ibadah itu tidak bermakna. Dengan kata lain, kita tidak melaksanakan pesan moral ibadah itu (Jalaudin Rakhmat, 1994: 40)

Ibadah puasa kita sudah memasuki fase sepuluh hari atau sepertiga kedua bulan Ramadan. Menurut sebuah hadits Nabi SAW, pada sepuluh hari atau sepertiga pertama bulan Ramadan Allah melimpahkan anugarahNya (rahman) kepada orang-orang yang menunaikan ibadah puasa. Pada sepertiga kedua Allah membukakan pintu ampunan (magfirah). Sedangkan pada seperti terakhir Allah membebaskan orang-orang yang menjalankan ibadah puasa dari ancaman dan siksaan neraka (ifkun minan-nar).

Hadits di atas pada prinsipnya menggambarkan bahwa bulan Ramadan adalah bulan yang dimuliakan Allah dan karenanya penuh berkah, yang didalamnya Allah membuka lebar-lebar pintu rahmat, ampunan dan pembebasan diri dari siksa neraka. Tetapi janji Allah tersebut tentu hanya saja berlaku bagi orang-orang yang menjalankan ibadah puasa dengan imanan wa ihtisaban (iman dan mawas diri atau ikhlas).

Oleh karena itu dalam perjalanan menyelesaikan amalan ibadah puasa beserta rangkaiannya di hari-hari sepertiga kedua bulan Ramadan tahun ini, ada baiknya kita melakukan intropeksi-diri dan evaluasi-diri apakah ibadah puasa kita sudah memenuhi kualifikasi imanan wa ihtisaban. Tulisan ini mencoba mencermati pesan moral yang terkandung dalam ibadah puasa tersebut, serta mengaitkannya dengan fenomena sosial-ekonomi dalam kehidupan masyarakat, fenomena dalam bulan suci Ramadhan.

Mencari Makna Kritis

Puasa dalam bahasa Arab berarti shaum. Secara harfiah kata shaum berarti menahan diri. Dalam istilah fikih, shaum adalah menahan diri dari makan dan minum serta segala sesuatu yang membatalkan puasa dari terbit fajar sampai terbenam matahari (M. Quraish Shihab, 2000: 173) Dari makna etimologis dan terminologis, dengan demikian dapat dipahami bahwa prinsip pokok dalam ibadah puasa adalah pengendalian diri (self-control). Salah satu manifestasi utama dari pengendalian diri dalam pelaksanaan ibadah puasa adalah pengendalian pada konsumsi. Karena itu, jika ibadah puasa dilaksanakan dengan benar, yakni sesuai dengan prinsip pengendalian diri, maka pada bulan puasa mestinya terjadi penurunan tingkat konsumsi di lingkungan masyarakat Islam.

Akan tetapi, kenyataan dalam masyarakat muslim, khususnya di Indonesia, justru menunjukkan sebaliknya. Kedatangan bulan puasa atau bulan Ramadan selalu diiringi dengan kenaikan harga-harga kebutuhan bahan pokok, yang kadang-kadang cukup tajam, biasanya sudah mulai terjadi sejak dua atau bahkan tiga minggu sebelum bulan puasa. Kondisi harga baru mulai pulih setelah satu atau dua minggu pasca lebaran.

Puasa memang bukan ide sosial untuk menyelesaikan isu sosial-ekonomi dan politik dalam jebakan kapitalisme global, kehidupan global ekonomi sekarang ini serang dikatakan sebagai era konsumeristik. Dimana-mana kita dapati betapa meluasnya berbagai jenis produk makanan dan minuman yang dapat dipilih untuk memuaskan kerakusan. Ironisnya, tidak semua orang dapat terlibat dalam kenikmatan konsumtif itu, kebanyakan masyarakat justru terpingirkan karena daya beli memang tidak merata. Bahkan karena ketimpangan pendapatan yang menyelok, sementara orang-orang yang berduit membuang sampah akibat kerakusan konsumsi yang tinggi–dimana-mana telah menghasilkan sampah yang menumpuk dan menjadi masalah tersendiri, khususnya di kota-kota besar–, sebagian kaum fakir yang paling miskin justru menunggu dan memungut sampah-sampah tersebut sebagai sumber penghasilan hidup.

Jarak sosial bisa dikatakan juga ikut memberikan jarak seseorang menuju kesalehan. apalagi di jaman kesalehan yang dipengaruhi oleh budaya konsumtif pasar ekonomi yang menawarkan gaya hidup sekarang ini, yang membuat kalangan orang-orang ekonomi dan sosialnya lemah semakin menderita dan tenggelam. Sungguh, sebuah fenomena sosial-ekonomi yang sangat memprihatinkan. Hal ini membuat kita bertanya-tanya, apakah ritus puasa yang sesungguhnya secara simbolis sebagai ungkapan pemihakan terhadap mereka yang menderita, yang lapar, yang tersingkir, masih memiliki substansi keberagamaan yang secara moralitas peka terhadap proses marjinalisasi sosial seperti itu?

Sebagai Kritik Sosial

Sungguh tidak bisa diragukan terlebih dalam situasi pandemi sekarang ini, bahwa kelaparan merupakan ungkapan sosial yang paling tragis dari harkat dan harga diri kemanusiaan. Namun, seseorang yang lapar tidaklah dengan sendirinya mengerti secara politik mengapa mereka menderita seperti itu di luar getirnya perasaan secara fisik dan kejiwaan. Sementara itu, mereka yang menjalankan puasa (pada saat ia lapar) juga belum tentu menghayati sepenuhnya mengapa harus melakukan ritus “kelaparan” tanpa sebuah penghayatan bagaimana nasib orang-orang yang sering ditimpa nasib sial kelaparan itu. Jika itu yang terjadi, maka itu mencerminkan bahwa banyak hal yang kita lakukan dan yang kita rasakan sesungguhnya belum membuka makna kesadaran yang hakiki. Di antara kita masih banyak yang hidup, baik dalam kehidupan yang objektif ataupun yang ritual, tanpa memiliki kesadaran yang hakiki akibat kekosongan pedagogis penyadaran selama ini, yang lebih memprihatinkan lagi, tatkala penyadaran kemanusiaan itu kosong dan lemah, munculnya gaya hidup konsumeristik yang rakus dari pasar kapitalisme global ternyata lebih menarik kesadaran manusia ke arah nafsu hedonistik daripada berusaha membangkitkan gairah keberagamaan yang asketik.

Puasa memang bukan ide sosial untuk menyelesaikan proses dehumanisasi atau ketersingkiran sosial seperti itu, namun paling tidak ibadah puasa selama bulan Ramadan yang sedang kita jalani tersebut dapat menggugah kesadaran iman yang bersifat self-reflexive (refleksi diri) sehingga ideologi kefitrian yang diberikan kepada setiap orang dapat muncul sebagai kepekaan kolektif (solidaritas sosial), barangkali barulah hikmah puasa itu akan mengalir menjadi perubahan sejarah, bukannya berhenti pada semangat mencari pahala untuk pemenuhan fikihnya saja. Sayangnya model intrepretasi puasa yang muncul dalam dakwah agama selama ini lebih banyak bahkan cenderung diterangkan sebagai laku tirakat spiritual kepahalaan daripada mengungkap makna ritus itu dari perspektif sosial. Wahyu Allah yang berbunyi, “Diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana puasa ini telah diwajibkan kepada orang-orang beriman sebelum kamu”, Menurut Moeslim Abduraahman (2009) biasanya dijelaskan secara spiritual sebagai pelaksanaan ritual (ritual enforcement) agar setiap orang patuh menjalankan ibadah. Padahal menurutnya, seharusnya ayat ini diterangkan sebagai keimanan hidup (living faith) yang aktual, dengan mencari makna ibadah itu dalam penghadapan realitas, yakni bagaimana kesadaran fitriyyah yang humanis memihak keadilan tersebut mempunyai perjumpaan secara dialektik dengan kenyataan kehidupan disekitar kita sehari-hari.

Selanjutnya menjadi pertanyaan penting apakah spiritual yang dibangun oleh mereka orang-orang yang melakukan puasa akan bisa mengalir menjadi kesadaran kolektif (solidaritas sosial) yang dapat mempengaruhi pemihakan terhadap kebijakan publik dalam politik bangsa ini? Pertanyaan ini penting untuk kita jawab bersama-sama sebagai suatu ‘pengingat’ meskipun dari Ramadan ke Ramadan para kaum agamawan selalu mendorong dan mengajak jamaahnya dan banyak orang lainnya untuk melakukan kedermawan sosial, namun nasib mereka yang terkena dampak (Paling dirasakan oleh masyarakat yang bekerja di perkotaan, buruh, tenaga kerja informal, dan pekerja harian lainnya) dan menjadi korban karena kebijakan work at home, stay at home, belajar di rumah, physical distancing, hingga Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB), masih tersingkir secara struktural jangan terlalu berharap bisa berubah. Sebab, sesunggunya kita perlu kebijakan politik secara moral lebih tegas daripada sekedar munculnya ungkapan-ungkapan kedermawanan yang bersifat kesalehan ekspresif saja.

Karena “sesuatu yang salah” pada puasa kita adalah terletak pada praktek pelaksanannya, bukan pada ajarannya, maka adalah kewajiban kita masing-masing untuk membenahi praktek ibadah puasa kita pada hari-hari yang masih tersisa di bulan Ramadan ini dan juga pada tahun-tahun berikutnya. Perbaikan praktek puasa kita harus mengacu pada prinsip pokok ibadah puasa itu sendiri, yaitu prinsip pengendalian diri. Demikian.

Referensi

Djohan Effendi (2012), Pesan-Pesan Al-Qur,an: Mencoba Mengerti Intisari Kitab Suci, Jakarta: Serambi.

Jalaluddin Rakhmat (1994), Renungan-Renungan Sufistik, Jakarta: Mizan

M. Quraish Shihab (2000), Lentera Hati, Jakarta: Mizan

Moeslim Abdurrahman (2009), Suara Tuhan, Suara Pemerdekaan: Menuju Demokarasi dan Kesadaran Bernegara, Yogyakarta: Kanisius.

Kanal Muda. Mengalirkan Kehidupan.

Pos Berikutnya Pos Sebelumnya
Tidak Ada Komentar
Tambahkan Komentar
comment url