Dari Puasa hingga Lebaran Idul Fitri Menuju Solidaritas Sosial



Sejak pertama kali dilaporkan di Tiongkok pada akhir Tahun 2019, COVID-19 telah menyebar ke berbagai negara dunia, termasuk Indonesia. Pada 25 Maret 2020, WHO akhirnya menetapkan Covid-19 sebagai pandemi global. Kita semua mengetahui bahwa Pandemi Covid-19 ini sudah sudah menjadi persoalan multidimensi yang dihadapi dunia termasuk Indonesia. Tidak hanya menyerang dan menjadi masalah Kesehatan saja, pandemi yang disebabkan oleh virus SARS-CoV-2 ini juga mengancam stabilitas sosial, budaya, keamanan dan menggerogoti kondisi ekonomi bangsa.

Melihat permasalahan tersebut solusi yang harus diambil adalah bagaimana upaya pemutusan rantai penyebaran Covid-19 tetap dapat dilakukan namun pemenuhan ekonomi masyarakat juga dapat berjalan. Karena Pandemi Covid-19 telah banyak membawa dampak signifikan terhadap kehidupan manusia, mulai dari aspek sosial, budaya, ekonomi, bahkan aspek ritual beragama mengalami perubahan. Perubahan ini bekerja pada level global, nasional, dan lokal.

Dalam aspek beragama misalnya, Seluruh umat Islam menjalani ibadan puasa dan merayakan lebaran dalam suasana yang tidak seperti biasanya, di tengah pamdemi corona, tidak hanya di Indonesia, di Negera Timur-Tengah pun semenjak datang bulan puasa, dijalani ibadah puasa dengan suasana sunyi. Hal ini harus diambil untuk memastikan penyebaran corona tidak meluas. Kita umat Islam dunia baru saja menjalankan ibadah puasa dengan penuh makna. Kenapa demikian? Karena sebuah hadis Nabi Muhammad SAW, pada sepuluh hari atau sepertiga pertama bulan Ramadan, Allah melimpahkan anugerah-Nya (rahman) kepada orang-orang yang menunaikan ibadah puasa. Pada sepertiga kedua Allah membukakan pintu ampunan (magfirah). Sedangkan pada sepertiga terakhir Allah membebaskan orang-orang yang menjalankan ibadah puasa dari ancaman dan siksaan neraka (ifkun minannar).

Hadits di atas pada prinsipnya menggambarkan bahwa bulan Ramadan adalah bulan yang dimuliakan Allah dan karenanya penuh berkah, yang didalamnya Allah membuka lebar-lebar pintu rahmat, ampunan dan pembebasan diri dari siksa neraka. Tetapi janji Allah tersebut tentu hanya saja berlaku bagi orang-orang yang menjalankan ibadah puasa dengan imanan wa ihtisaban (iman dan mawas diri atau ikhlas).

Oleh karena itu dalam perjalanan selama bulan puasa, dan merayakan Lebaran sebagai penutup dari ibadah puasa, ada baiknya kita melakukan intropeksi-diri dan evaluasi-diri apakah ibadah kita selama bulan Ramadan kemarin sudah memenuhi kualifikasi imanan wa ihtisaban. Tulisan ini mencermati masalah tersebut dengan mengaitkan fenomena social ekonomi dan politik dalam kehidupan masyarakat terutama dalam situasi pandemi Covid-19, sejatinya makna puasa dan Idul fitri (lebaran) bisa dijadikan sebagai momentum gerakan solidaritas sosial kaum muslimin.

Puasa sebagai Tirakat Sosial

Puasa dalam bahasa Arab berarti shaum. Secara harfiah kata shaum berarti menahan diri. Dalam istilah fikih, shaum adalah menahan diri dari makan dan minum serta segala sesuatu yang membatalkan puasa dari terbit fajar sampai terbenam matahari. Dari makna etimologis dan terminologis, dengan demikian dapat dipahami bahwa prinsip pokok dalam ibadah puasa adalah pengendalian diri (self-control). Dengan demikian, manifestasi utama dari menjalankan puasa adalah semangat mengendalikan diri dan solidaritas sosial saat pandemi Covid-19 yang kini melanda dunia.

Puasa memang bukan ide sosial untuk menyelesaikan isu sosial-ekonomi dan politik dalam jebakan kapitalisme global, namun paling tidak apabila ibadah puasa selama bulan Ramadan yang sudah kita jalani dapat menggugah kesadaran iman yang bersifat self-reflexive (refleksi diri) sehingga ideologi kefitrian yang diberikan kepada setiap orang dapat muncul sebagai kepekaan kolektif (solidaritas sosial), barangkali barulah hikmah puasa itu akan mengalir menjadi perubahan sejarah, bukannya berhenti pada semangat mencari pahala untuk pemenuhan fikihnya saja. Sayangnya model intrepretasi puasa yang muncul dalam dakwah agama selama ini lebih banyak bahkan cenderung diterangkan sebagai laku tirakat spiritual kepahalaan daripada mengungkap makna ritus itu dari perspektif sosial.

Wahyu Allah yang berbunyi, “Diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana puasa ini telah diwajibkan kepada orang-orang beriman sebelum kamu”, Menurut Moeslim Abduraahman (2009) biasanya dijelaskan secara spiritual sebagai pelaksanaan ritual (ritual enforcement) agar setiap orang patuh menjalankan ibadah. Padahal menurutnya, seharusnya ayat ini diterangkan sebagai keimanan hidup (living faith) yang aktual, dengan mencari makna ibadah itu dalam penghadapan realitas, yakni bagaimana kesadaran fitriyyah yang humanis memihak keadilan tersebut mempunyai perjumpaan secara dialektik dengan kenyataan kehidupan disekitar kita sehari-hari.

Sungguh tidak bisa diragukan dalam situasi pandemi sekarang ini, dan tidak bisa dipungkiri bahwa kelaparan merupakan ungkapan sosial yang paling tragis dari harkat dan harga diri kemanusiaan. Namun, seseorang yang lapar tidaklah dengan sendirinya mengerti secara politik mengapa mereka menderita seperti itu di luar getirnya perasaan secara fisik dan kejiwaan. Sementara itu, mereka yang menjalankan puasa (pada saat ia lapar) juga belum tentu menghayati sepenuhnya mengapa harus melakukan ritus “kelaparan” tanpa sebuah penghayatan bagaimana nasib orang-orang yang sering ditimpa nasib sial kelaparan itu. Jika itu yang terjadi, maka itu mencerminkan bahwa banyak hal yang kita lakukan dan yang kita rasakan sesungguhnya belum membuka makna kesadaran yang hakiki.

Di antara kita masih banyak yang hidup, baik dalam kehidupan yang objektif ataupun yang ritual, tanpa memiliki kesadaran yang hakiki akibat kekosongan pedagogis penyadaran selama ini, yang lebih memprihatinkan lagi, tatkala penyadaran kemanusiaan itu kosong dan lemah, munculnya gaya hidup konsumeristik yang rakus dari pasar kapitalisme global (menarik kesadaran manusia ke arah nafsu hedonistik daripada berusaha membangkitkan gairah keberagamaan yang asketik). Karena ”sesuatu yang salah” pada puasa kita adalah terletak pada praktik pelaksanaannya, bukan pada ajarannya, maka adalah kewajiban kita masing-masing untuk membenahi praktik ibadah puasa kita pada bulan Ramadan ini berikutnya.

Menuju Solidaritas Sosial

Lebaran, sebagai penutup dari ibadah puasa, kalau harus dibaca dalam pesannya yang paling pokok, sesungguhnya tidak lain mengingatkan bahwa fitrah manusialah yang harus dimenangkan. Sebuah pesan moral kemanusiaan yang sangat mendasar bahwa lapar dan kelaparan di tengah situasi pandemi sekarang ini adalah musuh manusia dan peradaban yang paling berbahaya. Sebab, kefakiran dan kemiskinan akan menjadi penghalang, tidak hanya agar manusia dapat mengenali dirinya sebagai makhluk Tuhan yang mulia, tetapi juga karena ketimpangan ekonomi yang tidak adil akan menggerogoti rasa solidaritas kemanusiaan yang lebih sejati. Dengan demikian, secara simbolik, pada hari raya ‘id sesungguhnya tidak boleh ada orang di sekeliling kita yang tidak memiliki manakan, apalagi kelaparan dan menderita. Maka janganlah pergi melakukan shalat id jika belum mengeluarkan zakat fitrah. Sebab, tanpa mengungkapkan secara simbolik solidaritas sosial kemanusiaan semacam itu sebagai kepekaan spiritual, jangan harap setiap ibadah ritual akan diberikan pahalanya.

Selanjutnya menjadi pertanyaan penting apakah spiritual yang dibangun oleh mereka orang-orang yang melakukan puasa akan bisa mengalir menjadi kesadaran kolektif (solidaritas sosial) yang dapat mempengaruhi pemihakan terhadap kebijakan publik dalam politik bangsa ini? Pertanyaan ini penting untuk kita jawab bersama-sama sebagai suatu ‘pengingat’ meskipun dari Ramadan ke Ramadan para kaum agamawan selalu mendorong dan mengajak jamaahnya dan banyak orang lainnya untuk melakukan kedermawanan sosial, namun nasib mereka yang terkena dampak (Paling dirasakan oleh masyarakat yang bekerja di perkotaan, buruh, tenaga kerja informal, dan pekerja harian lainnya) dan menjadi korban karena kebijakan work at home, stay at home, belajar di rumah, physical distancing, hingga Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB), masih tersingkir secara struktural jangan terlalu berharap bisa berubah. Sebab, sesungguhnya kita perlu kebijakan politik secara moral lebih tegas daripada sekedar munculnya ungkapan-ungkapan kedermawanan yang bersifat kesalehan ekspresif saja. Demikian.

Tri Hariyono

Kanal Muda. Mengalirkan Kehidupan.

Pos Berikutnya Pos Sebelumnya
Tidak Ada Komentar
Tambahkan Komentar
comment url