Kami, Mbah Dalikan, dan Pendidikan

"Hati orang berbudi mendapatkan pengetahuan, dan telinganya mencari ilmu." – Amsal 18:15

Dua minggu lalu, kami mengadakan Training for Trainer (ToT). Rendahnya mutu pendidikan kita hari ini yang dugaan besarnya berasal dari kualitas pendidik menjadi alasan utama penyelenggaraannya. Selain itu, kami juga punya mimpi, yang mungkin kelewat tinggi, untuk bisa memiliki sekolahan. 

Kami mengundang kepala sekolah pertama Sekolah Tinggi Hukum Indonesia (STHI) Jentera sebagai trainer. Namanya Rival, trainer yang cakap dan sangat menguasai medan untuk kegiatan ini. Rival membuka training dengan meminta masing-masing peserta untuk menuliskan sosok guru yang paling berkesan.

Setelah semua menuliskan sosok tersebut di post it, Rival meminta setiap peserta bercerita singkat, hal apa yang berkesenan tentang sosok tersebut. Hampir semua menulis sosok guru di sekolah, entah itu guru SD, SMP, atau SMA. Namun Jarpo, salah seorang dari kami menulis nama Mbah Dalikan sebagai sosok guru yang inspiratif. “Wah iya,” respon kami serentak ketika Jarpo menyebut nama itu. Mayoritas dari kami memang mengenalnya secara personal. 

Sosok Mbah Dalikan

Konsistensi kepada dunia pendidikan adalah kata-kata yang dipilih Jarpo untuk menggambarkan sosoknya. Dan rasa-rasanya apa yang dikatakan Jarpo tidak berlebihan. 

Kami tentu langsung saja dibuat mengingat sosoknya. Lelaki murah senyum dengan rambut putih tipisnya yang cukup pendiam. Setiap pagi, Ia membuka warung makan kecil dengan beberapa kebutuhan rumah tangga di belakang rumah. Tidak jarang, setiap Jumat, Ia dan Istri akan membuat hidangan teh untuk orang-orang yang masih berkumpul setelah sholat Jumat. Lalu, ketika malam, ruang tamu kecilnya itu akan dijadikan tempat belajar gratis untuk anak-anak bersama relawan dan seringkali Ia juga turut andil dalam usia senjanya untuk memberikan pelajaran soal budi pekerti dan bahasa jawa. 

Kami mengenalnya tidak langsung bersamaan. Saya mengenal Mbah Dalikan tahun 2012. Ketika Ia bersama warga lain di tempat tinggalnya, di pinggir Kali Code Yogyakarta, berjuang untuk mendapatkan hak atas tanah yang mereka tempati. Waktu itu tepat sepuluh tahun saat Ia telah pensiun sebagai guru sekolah dasar. Namun, konsistensi dan komitmennya pada pendidikan tidak pernah pudar, dengan merelakan rumahnya yang sedang ia perjuangkan hak atas tanahnya itu menjadi tempat anak-anak belajar, belajar apa saja. Rasanya, tanpa komitmen dan konsistensi yang kuat pada pendidikan, pemandangan rumah yang tidak begitu luas tapi berisik setiap hari itu tidak akan pernah terjadi. 

Cerita Mbah Dalikan untuk bisa menjadi guru adalah episode terhebat yang paling saya ingat. Tentang bagaimana Ia harus pergi jauh dengan kereta uap dan tinggal di asrama dengan fasilitas apa adanya, kalau tidak mau dibilang serba kurang. Ia juga bercerita, sikapnya hari ini adalah hasil digembleng di sekolahan. Seorang guru harus bisa menjadi contoh dan panutan, utamanya bagi murid-muridnya dan juga contoh di masyarakat. 

“Menjadi guru harus benar-benar bisa digugu dan tiru,” katanya dalam sebuah kesempatan mengkritik tindak-tanduk sebagian guru saat ini. 

Dalam perjalanan ke Jakarta dengan kereta pagi ini, saya mendapatkan pesan duka. Martinus Dalikan Sunaryata, dini hari tadi telah berpulang ke rumah Bapa di surga. Meninggalkan kita semua yang mengenalnya. 

Kami membayangkan Ia akan menjawab sapaan dari orang-orang yang telah menunggu di sana, “Pangestu wilujeng, kundur bapak sugeng,” sahutnya. Kalimat bahasa jawa yang sering diajarkan pada kami tentang rasa syukur dan bahagia. 

Selamat jalan, Mbah Dal. Inspirasi abadi kami semua!

**

Happy Nur W

Kanal Muda. Mengalirkan Kehidupan.

Pos Berikutnya Pos Sebelumnya
Tidak Ada Komentar
Tambahkan Komentar
comment url