Memaknai Gerakan Organisasi Pendidikan

Oleh Ririn Maharani Salassa

Jauh sebelum negara mengejawantahkan konsep pendidikan yang dikehendakinya, Ki Hajar Dewantara menginisiasi konsep pendidikan yang memanusiakan manusia, pendidikan yang dekat dengan sosio, politik, dan kultural. Sejatinya pendidikan yang tidak memisahkan diri dari lingkungannya adalah pendidikan yang membebaskan masyarakat dari hegemoni. Pendidikan tidak hanya hadir untuk melanggengkan korporasi dan pembatasan gerakan kritis melalui upaya represif alat-alat negara.  

Seturut dengan pandangan itu, Paulo Freire juga menegaskah hal serupa bahwa tujuan hidup manusia sejatinya adalah memanusiakan manusia (humanizing), keyakinan bahwa manusia memiliki kesadaran historis dan nilai dalam hidupnya. Relasi kesadaran terhadap tujuan dan proses seyogianya adalah pendekatan paling dasar untuk membentuk metode, orientasi, hingga pilihan nilai (Freire, 1999). Dengan begitu, kehadiran pendidikan alternatif yang diinisiasi oleh pelbagai organisasi, komunitas, juga lembaga adalah keniscayaan.

Dewasa ini, pendidikan hadir melalui mekanisme kurikulum yang diatur oleh lembaga terkait, baik yang bersifat formal maupun informal. Namun, tidak sedikit pula, pendidikan formal dengan format kurikulum yang hadir di tingkat bawah hingga atas masih menyisakan polemik. Salah satunya fakta tentang pendidikan yang memisahkan atau setidak-tidaknya tidak mampu merespon permasalahan sosial masyarakat. 

Polemik Pendidikan Kontemporer

Analisis Freire mengenai sistem pendidikan di Amerika Latin seakan terus menemukan relevansinya hingga hari ini seturut dengan sistem kapitalisme yang mengakar di segala sektor. Sebagaimana sistem pendidikan gaya bank yang melanggengkan budaya diam dan hanya beorientasi pada penyamarataan siswa, siapa pun yang memenuhi kriteria ini akan dianggap memiliki mutu. Pendekatan ini berimplikasi pada siswa yang tidak kritis terhadap dunia dan lingkungannya juga menekan kebebasan berekspresi dan berpendapat sebagai bagian dari hak asasi. Transfer pengetahuan dalam pendekatan ini juga menegasikan sistem demokrasi. Pentingnya dialog setiap entitas dalam ruang kelas ditiadakan dalam sistem ini. Demokrasi pendidikan justru dinegasikan oleh negara yang mengaku—jika tidak ingin dikatakan hanya sebatas pemahaman demokrasi prose-dural—demokratis. 

Minimnya diskursus akademis mengenai eksploitasi negara melalui pertambangan di Desa Wadas, dehumanisasi alat negara terhadap masyarakat adat dalam koridor proyek strategis nasional, krisis ekologis akibat deforestasi, pembangunan yang masif tanpa mempertimbangkan dampak lingkungan, pemerosotan hak-hak buruh dalam undang-undang cipta kerja, praktik politik dinasti, konsep merdeka belajar yang eksploitatif, pendidikan mahal, hingga kekerasan dan pelecehan seksual yang marak terjadi di lingkungan rumah, institusi pendidikan, maupun dalam organisasi menjadi potret nyata dari problem sosial, ekonomi, dan kultur hari ini. Pendidikan sebagai wadah mencerdaskan kehidupan bangsa dalam tataran implementasi hanya sebatas produk normative. Ia tidak mampu terlibat langsung atau dengan terang memisahkan diri dari polemik-polemik tersebut. Padahal, mencerdasarkan kehidupan bangsa sejatinya juga dimaknai sebagai upaya pembebasan seturut dengan makna pedagogi yang demokratis, egaliter, juga emansipatoris. 

Gagasan Gerakan Organisasi Pendidikan

Pemahaman pendidikan politik pada tingkat akar rumput masih menjadi tantangan tersendiri. Masifnya organisasi yang berangkat dari kegelisahan masing-masing belum cukup—dalam kuantitas—menciptakan kontra politik hegemoni politik praktis yang mendaku sebagai perwakilan rakyat hari ini. Senada dengan ketiadaan bentuk politik alternatif itu, parlemen dan rezim yang memerintah hari ini terus melanggengkan status quo-nya melalui segelintir undang-undang problematik yang minim partisipasi dan keadilan. 

Kondisi tersebut seakan melegitimiasi adanya ketimpangan pekerjaan, pendidikan, dan ekonomi antara setiap anggota parlemen dan partisipannya. Anggota parlemen provinsi pada umumnya berpenghasilan lebih tinggi, berpendidikan minimal strata satu dan berasal dari keluarga pengusaha atau elit lokal dibandingkan dengan masyarakat yang memilihnya (Warburton et al., 2021). Dalam tataran perwakilan rakyat nasional, terdapat 80% anggota parlemen memiliki latar belakang pengusaha, pebisnis, dan/atau bagian elit partai. Di lain sisi, 20% dari kelompok ini diisi oleh hubungan relatif seperti keluarga dari petinggi partai, sementara sisanya berasal dari akademisi dan mantan aktivis sosial (Pamungkas, 2016). Keadaan tersebut menjadi niscaya apabila melihat bagaimana oligarki menggurita di negeri ini. Ironi tesebut juga dibuktikan dalam dua dekade terkahir, 1% orang kaya di Indonesia menguasai 49% kekayaan milik negara (Warburton et al., 2021).

Kondisi tersebut mempertegas pemaknaan demokrasi dalam tubuh elit yang diwakili oleh lembaga perwakilan rakyat. Interpretasi atas demokrasi dalam kelompok ini sebatas pada demokrasi prosedural (Aspinall et al., 2020). Mengharapkan sistem demokrasi yang radikal pada sistem yang berlaku saat ini adalah sia-sia. Oleh karena itu, perwujudan kontra politik praktis dalam berbagai sektor termasuk pendidikan menjadi penting dan mendesak  untuk diambil alih dari kekuasaan berbasis kapitalistik. 

Upaya pembaruan dunia pendidikan di Indonesia membutuhkan gotong-royong segenap elemen, terlepas dari kewajiban negara untuk menghadirkan pendidikan demokratis, egaliter, dan emansipatoris. Dalam upaya tersebut, pemuda dapat menciptakan sumbangsih yang berarti bagi pembaruan pendidikan yang menjadi cita-cita bersama. Respon pemuda atas pendidikan hadir dalam bentuk dan ruang yang beragam. Satu dari sekiannya adalah pendidikan alternatif.

Pendidikan alternatif yang hadir hari ini, dapat dikatakan, berupaya untuk mengisi kekosongan negara yang absen dalam pemenuhan hak warga negara—jika tidak ingin dikatakan pengabaian—sebagaimana pendidikan adalah hak warga negara. Pendidikan alternatif yang diamini oleh pemuda, baik dalam organisasi kepemudaan maupun individu merdeka yang kritis terhadap dunia pendidikan, dewasa ini, berangkat dari posisi yang tidak netral, memiliki keberpihakan kepada masyarakat melalui pelbagai prinsip pendidikan yang ditawarkan. Prinsip tersebut diterjemahkan ke dalam pilar pendidikan: (1) Pengetahuan yang diajarkan meliputi penciptaan metode belajar; (2) Kedudukan tenaga pendidik terhadap isu sosial; (3) Institusi yang menaungi (Laksana, 2018).

Bentuk pengetahuan yang diajarkan seyogianya berpegang pada prinsip dasar demokrasi deliberatif yang menghendaki adanya dialog yang setara antar setiap elemen dalam setiap proses penciptaan mekanisme belajar. Konsepsi tersebut juga diiringi oleh seberapa jauh partisipasi setiap entitas. Paradigma partisipasi oleh Sherry Arnstein yang dalam skala pembentukan undang-undang, setidak-tidaknya dapat diejawantahkan dalam proses demorkasi tingkat mikro sekali pun. Pembentukan metode belajar dengan ciri partisipatoris juga berlaku pada pembentukan kebijakan yang dikeluarkan oleh struktural organisasi. Pendekatan itu menegaskan bahwa setiap elemen dari organisasi pendidikan baik struktural, peserta dampingan, maupun masyarakat terlibat dalam proses pembentukan kebijakan, metode belajar, menentukan keputusan dalam koridor kepentingannya masing-masing, hingga kuasa untuk mengawasi jalannya kebijakan dan metode yang dibentuk (Arnstein, 1969).

Polemik yang dihadapi pemuda hari juga beragam dan berkelindan sehingga upaya menciptakan pendidikan yang dicita-citakan juga harus berwatak radikal dan progresif yang jauh melampaui zamannya. 

Kepustakaan

Arnstein, S. R. (1969). A Ladder Of Citizen Participation. Journal of the American Institute of Planners, 35(4), 216–224. https://doi.org/10.1080/01944366908977225

Aspinall, E., Fossati, D., Muhtadi, B., & Warburton, E. (2020). Elites, masses, and democratic decline in Indonesia. Democratization, 27(4), 505–526. https://doi.org/10.1080/13510347.2019.1680971

Freire, P. (1999). Politik Pendidikan: kebudayaan, kekuasaan, dan pembebasan. Terj. Agung Prihantoro. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Laksana, B. K. C. (2018). Pendidik dan Pendidikan untuk Emansipasi. Indoprogress. https://indoprogress.com/2018/08/pendidik-dan-pendidikan-untuk-emansipasi/

Pamungkas, D. (2016). Sudah Waktunya Pemuda Membangun Partai Politik Progresif. Indoprogress. https://indoprogress.com/2016/10/sudah-waktunya-pemuda-membangun-partai-politik-progresif/

Warburton, E., Muhtadi, B., Aspinall, E., & Fossati, D. (2021). When does class matter? Unequal representation in Indonesian legislatures. Third World Quarterly, 42(6), 1252–1275. https://doi.org/10.1080/01436597.2021.1882297

---

Tulisan ini disajikan dalam Sekolah Lanjutan Paguyuban Pengajar Pinggir Sungai (P3S) pada 24-25 Desember 2023 di Kulon Progo. 

Kanal Muda. Mengalirkan Kehidupan.

Pos Berikutnya Pos Sebelumnya
Tidak Ada Komentar
Tambahkan Komentar
comment url